Last Feeling

Image

Author       :   Chyme

Main cast  :   Lee Jinki (Onew), Kim Sena

Length       :   Oneshot

Genre        :    Sad, Absurd (hahaha)

Rating       :     PG-16

Poster By:     Ria Ayu Milyana

Note          :     Don’t take any part of this fiction without permission. READ, COMMENT, LIKE, PLEASE~

Attention ! FF Chym ini pernah dipublish di http://www.mrfanficimagine.wordpress.com

Dahulu kau mencintaiku

Dahulu kau menginginkanku

Meskipun takkan pernah ada jawabku

Tak berniat kau tinggalkan aku

Sena berlari-lari kecil menyusuri koridor yang membawanya di mana loker milik murid kelas sepuluh berada. Beberapa tumpukan buku tebal berguncang dalam pelukannya ketika ia melompat menghindari tetesan-tetasan hujan yang jatuh menembus dari atap koridor. Sena sangat terburu-buru saat ini, setengah jam lagi ada tambahan pelajaran di tempat lain dan ia sama sekali belum singgah di rumahnya.

Dengan kasar, Sena menarik pintu loker berwarna biru tua miliknya. Matanya membulat ketika mendapati sebuah payung lipat berwarna kuning tergeletak begitu saja di dalamnya. Dengan tidak sabaran ia membuka kertas kecil yang tergantung di gagang payung.

Untukmu,

Kau pasti sangat membutuhkannya…

                                    Love,

                                    Jinki

Sena menghembuskan nafasnya kasar setelah membaca tulisan tangan Jinki. Ia menaruh kertas kecil itu bersama tumpukan buku yang di peluknya ke dalam loker, lalu menutupnya dan pergi begitu saja. Sama sekali tidak memperdulikan payung pemberian Jinki, meski di luar sana gerimis.

Satu persatu kaki Sena melangkahi genangan air hujan. Kedua tangannya mencengkram kuat-kuat map plastik yang berada di atas kepalanya. Pikirannya tiba-tiba melayang jauh ke lima bulan yang lalu, saat Jinki menyatakan perasaan suka pada Sena untuk yang pertama kalinya. Dan pada saat itu juga, persahabatan yang sudah mereka bangun sejak kecil runtuh begitu saja.

“Aku menyukaimu Sena.” Ulang Jinki. Kedua tangannya menyentuh pundak Sena dan menguncangnya sedikit. Tapi Sena sama sekali tak bergeming, rasa terkejutnya tiba-tiba membuat hati dan pikirannya beku. Memikirkan bagaimana perasaannya terhadap Jinki saja ia tak mampu, apalagi menanggapi jawaban dari pernyataan yang baru saja disampaikan Jinki. Ini begitu mendadak sangat mendadak, Jinki menyatakan cintanya di saat Sena mulai mengerti begitu pentingnya memiliki sahabat seperti Jinki. Dan begitu bahagianya ia bisa bertukar pikiran tentang rasa cintanya pada laki-laki lain.

Jinki memeluk Sena begitu saja ketika melihatnya hanya menatap kaku, ia menyandarkan kepala Sena di antara dadanya yang lebar. Aroma parfumnya membelai lembut hidung Sena, ini adalah pertama kalinya Jinki memeluk Sena setelah bertahun-tahun mereka menghabiskan waktu bersama-sama. Tapi…ini bukanlah hal yang diinginkan Sena, merasakan pelukan Jinki hanya karena ia akan menjadi kekasih Jinki. Bukan! Sena tidak memiliki perasaan yang sama terhadap Jinki. Ia sudah menyukai laki-laki lain. Dan Jinki tahu itu. Tidak mungkin ia menerima pernyataan Jinki sedangkan hatinya sendiri terdustai.

Sena segera menjauhkan dirinya dari pelukan Jinki. Tapi Jinki justru mengeratkan pelukannya. “Aku menyayangimu Sena-ya. Sangat-sangat menyayangimu. Rasa yang kurasakan ini berbeda, aku cemburu ketika melihatmu dengan laki-laki lain. Jantungku mencelos ketika aku mendengarkan keluh kesahmu tentang laki-laki itu. Bahkan, senyuman dan tawamu selalu menghampiri malam-malamku, aku tidak bisa berhenti memikirkanmu, Sena-ya. Dadaku terasa sesak ketika membayangkanmu menjauh dariku. Aku ingin kau selalu ada di sampingku, lebih dari seorang adik ataupun sahabat….Sena.. Maukah kau menjadi kekasihku?” lirih Jinki. Salah satu tangannya membelai rambut pirang Sena perlahan.

 Sena tak membalas ucapan Jinki, terdengar sekali detak jantung Jinki yang begitu cepat, pertanda bahwa ia sungguh-sungguh dengan ucapannya. Sungguh, Sena sebenarnya tidak ingin ini terjadi di tengah-tengah persahabatan mereka. Bermain bersama setiap hari dan meluapkan semua emosi bersama-sama adalah hal terindah yang selalu membuat Sena bahagia. Kenapa Jinki begitu menginginkan lebih?Padahal ada laki-laki lain di hati Sena. Tidakkah Jinki menyadari itu?

Sena menarik mundur tubuhnya dan tersenyum hangat terhadap Jinki. Tatapan sendu yang Jinki tampakkan membuat dadanya sedikit sesak. Ingin rasanya ia tidak menyakiti hati Jinki dan tidak berkata jujur. Tapi itu tidak mungkin, bukankah saat ini persahabatan lebih baik dari cinta?

“Aku juga menyayangimu, oppa. Sangat menyayangi dan menyukaimu. Aku bahagia bisa menjadi adik dan sahabatmu sejak kecil. Aku menyukai itu, sangat menyukai hal itu. Tapi aku ingin kita bisa terus seperti itu, oppa. Hanya seperti itu.” Sena menepuk-nepuk pelan lengan atas Jinki. Rasa sesak di dadanya  semakin menyeruak.

  “Kalau begitu, tetaplah berada di sisiku. Aku akan menunggumu.”Jinki menarik Sena kembali ke pelukkannya.

Dan Jinki benar-benar menunggunya. Ia bahkan memperlakukan Sena seperti seorang idola. Mengiriminya hadiah, mengiriminya kartu ucapan, dan sikap Jinki berubah drastis menjadi lebih melankolis.  Sena tidak suka itu, sangat tidak suka. Sosok Jinki yang seperti itu malah membuat Sena ikut membenci dirinya sendiri. Karena ia tidak bisa membalas perasaan Jinki walaupun ia sudah mencobanya selama berbulan-bulan. Perasaannya yang selalu tertuju pada sosok lain tidak bisa ia alihkan pada Jinki yang jelas-jelas sedang menunggunya. Bahkan ia selalu merasa iba jika melihat Jinki yang terus menerus memperlakukannya lebih dari biasanya.

Tapi Jinki tidak pernah mau mendengarkannya. Ia tidak pernah mau mengakui perasaan Sena yang sesungguhnya. Wajah polosnya selalu membuat Sena tidak tega untuk menegaskan pada siapa perasaan Sena ditujukan. Sena semakin muak dengan ini, perlakuannya yang selalu mengabaikan Jinki juga sama sekali tidak membuahkan hasil. Jinki malah semakin meneruskan perlakuan istimewanya itu pada Sena. Bahkan ketika Sena mengingatkannya betapa senangnya ia bisa bersahabat dengan Jinki dan menghabiskan waktu normal bersamanya, Jinki hanya tersenyum mengiyakan.

Lamunan Sena tiba-tiba berhamburan ketika ia merasakan tetesan-tetesan air hujan yang turun semakin bertambah. Ia lantas menatap tajam halte tempatnya menunggu bis yang masih berjarak beberapa meter di depannya.

“Sena-ya!”

Sena menghentikan larinya sejenak. Hujan yang mulai turun dengan derasnya membuat Sena tidak bisa mendengar dengan jelas suara siapa yang barusan muncul.

“Sena-ya! Berbaliklah sebentar.” Ucap seseorang dari balik punggung Sena.

Sena berbalik dan terkejut ketika mendapati sosok yang baru saja di pikirkannya tiba-tiba berada di depannya sedang memayungi tubuhnya yang sedikit basah.

“Bukankah aku sudah memberimu payung? Kenapa tidak memakainya? Lihatlah pundakmu sudah basah kuyup seperti itu.”cerocos Jinki. Tangannya yang bebas meraih map plastik yang sedang Sena cengkram di atas kepalanya dan menurunkannya.

“Ini. Pakailah, kau pasti sedang dikejar waktu. Aku bisa memakai map plastikmu itu.”Jinki menyodorkan gagang payung yang sedang di pegangnya dan meraih map plastik yang sedang Sena bawa. Tapi Sena malah menjauhkannya,

“Tidak usah! Aku baik-baik saja. Aku bisa pulang dengan ini.”tukas Sena. Tangannya mengangkat lagi map plastik merah yang di genggamnya ke atas kepala dan berbalik. Dengan sigap Jinki menarik tangan Sena dan membalikan tubuh Sena kembali menghadapnya.

“Jangan keras kepala. Tas dan badanmu bisa basah kuyup. Kau bisa sakit.”sahut Jinki. Tatapannya pada Sena begitu teduh tapi menusuk. Sena memalingkan wajahnya dari Jinki. Tangannya yang masih di genggam Jinki ditepisnya begitu saja.

Oppa, kenapa kau bisa ada di sini? Apa kau mengikutiku?” ucap Sena lirih. Hembusan nafasnya terdengar tidak beraturan. Rasa sesak di dadanya tiba-tiba menyeruak.“Kenapa kau tidak menjawabku? Kau sengaja mengikutiku ‘kan? Kau selalu melakukan itu padaku sekarang. Ini bukan kau yang dulu oppa. Kau tidak pernah menghabiskan waktu-waktu berhargamu dengan cara seperti ini. Ini bukan kau, oppa! Hentikan oppa!  Hentikan! Jangan mendekatiku lagi, jangan menyukaiku lagi. Berikanlah cinta indahmu itu pada orang lain yang bisa membalas perasaaanmu! Jangan padaku, oppa! Kau dan aku hanyalah sahabat. Tidak lebih, berhentilah mengejarku, oppa. Aku bukan untukmu lagi. Aku tidak menyukaimu, aku menyukai yang lain!”

Sena meluruhkan semua air mata yang sejak tadi ia tahan. Bibirnya bergetar merasakan dadanya yang semakin sesak. Hembusan nafasnya begitu terburu. “Aku muak, oppa. Aku muak melihat semua perhatian-perhatian aneh yang kau berikan. Aku tidak membutuhkan itu. Berikanlah semua perhatian-perhatian itu pada perempuan lain.”

Sena menekan dadanya dan   mengambil oksigen lebih banyak lagi. Diliriknya Jinki yang masih berdiri kaku di depannya. “Jangan  membuat dirimu terlihat menyedihkan di hadapanku, oppa. Pergilah dan carilah kebahagiaanmu itu tanpaku.”

Sena membungkukkan sedikit badannya. Rasa sesak dan gemuruh di dadanya terlalu menyiksa. Pasokan oksigen di sekitarnya tiba-tiba menipis. Apa yang sedang terjadi pada dirinya? Kenapa begitu sulit mengungkapkan apa yang ia rasakan? Sampai-sampai harus merasa sesak seperti ini? Pandangan Sena tiba-tiba terhenti pada sepasang sepatu Jinki yang bergerak mundur perlahan. Kedua mata Sena membulat, tapi badannya enggan menegak. Pikiran-pikiran bahwa Jinki akan meninggalkannya lebih jauh dari yang ia harapkan tiba-tiba muncul.

“Baiklah. Jika itu maumu. Aku akan pergi.” Kedua kaki Jinki kini berbalik dan berjalan menjauhi Sena. Dan pada saat itu jugalah, guyuran hujan yang begitu deras menimpa seluruh tubuh Sena yang masih membungkuk menghadap tanah. Air matanya tumpah, bercampur dengan air hujan yang mengalir dari rambutnya. Jinki sudah pergi meninggalkannya.

“Aku lebih nyaman jika kau melihatku sebagai seorang sahabat, oppa.

Sekarang kau pergi menjauh

Sekarang kau tinggalkan aku

Disaat ku mulai mengharapkanmu

Dan ku mohon maafkan aku
Aku menyesal t’lah membuatmu menangis

Dan biarkan memilih yang lain

“Aku lebih nyaman jika kau melihatku sebagai seorang sahabat, oppa.

Kalimat itu tiba-tiba tergiang di telinga Sena ketika ia melihat sepasang kekasih sedang mengobrol santai di depannya. Saling tertawa riang dan menatap bahagia satu sama lain. Seperti itukah yang disebut berpacaran? Rasa nyeri di hati Sena tiba-tiba menyerang. Kenangan-kenangan yang dulu pernah ia buat bersama laki-laki itu membuatnya rindu. Dan sekali lagi, seperti itukah yang kau sebut berpacaran? Mengabaikan semua yang dulu pernah kau miliki demi seorang kekasih?

Sena menyesal. Tapi tidak seharusnya ia menyesal. Bukankah ini yang dari dulu ia inginkan? Jinki bisa memberikan cinta indahnya pada perempuan lain dan dengan begitu, persahabatan mereka akan terus berjalan dengan baik-baik saja. Ia juga bisa leluasa menyukai laki-laki lain, dan Jinki tidak akan tersakiti. Tapi itu tidak terjadi. Semenjak Jinki memiliki gadis itu, Jinki tidak pernah menghubunginya sama sekali. Berkunjung ke rumah pada hari Minggu dan makan bersama dengan keluarga Sena juga tak di lakoninya. Ia selalu absen dan ibunya-lah yang selalu menyampaikan pesan darinya untuk Sena. Dan saat bertemu di sekolah, ia juga tidak pernah menghiraukan sapaan Sena. Sena tidak mengerti, apakah Jinki membencinya karena dulu ia tidak pernah menerima cintanya ataukah Jinki terlalu fokus pada gadisnya itu?

Gadis itu berjalan beriringan dengan Jinki setelah memesan makanan pada ibu kantin. Tangannya yang putih dan ramping itu senantiasa mengamit lengan Jinki. Tingginya yang hanya sebatas bahu Jinki membuat Jinki harus menunduk jika ingin melihatnya. Dan terkadang, hanya sedikit jarak yang mereka buat diantara kedua hidung mereka. Sena menghembuskan nafasnya kuat-kuat. Tidak seharusnya ia melihat adegan membahagiakan ini sedangkan hatinya merasakan hal yang sebaliknya. Ia beranjak dari bangku tempatnya duduk dan meninggalkan sisa jus alpukat kesukaannya begitu saja. Kakinya yang jenjang melangkah lebar-lebar ke koridor di mana letak loker kelas sebelas berada. Dari pada memikirkan Jinki dan kekasihnya, ia lebih baik mengambil beberapa buku untuk pelajaran selanjutnya.

Sena menyusuri koridor yang membawanya ke ruang kelasnya dengan langkah terburu-buru, ketika beberapa menit yang lalu ia mendengar bel jam pelajaran berikutnya berbunyi. Buku-buku tebal dan tipis saling berguncang di dalam dekapannya. Tanpa menghentikan langkahnya, Sena sedikit menundukan kepala dan merapikan buku yang dibawanya agar tidak jatuh. Dan tiba-tiba, sebuah siluet putih menabraknya begitu saja.

BRUKK!!

Sena langsung berjongkok hendak merapikan buku-bukunya yang tercecer ketika suara lembut dari seorang gadis menyapa pendengarannya,

“Oh!! Maafkan aku, aku tidak sengaja. Sungguh, aku tidak sengaja. Biar ku bantu membereskannya.” Sena tak menghiraukannya. Ia tetap berjongkok dan memberesekan buku-bukunya yang berserakkan. Entah apa yang sedang dipikirkan Sena. Tiba-tiba ia tidak menyukai suara gadis itu. Memang benar gadis itu sudah meminta maaf dan mengatakan tidak sengaja, tapi bagaimana mungkin dia bisa menabrak Sena kalau gadis itu berkonsentrasi berjalan. Dan lagi, suaranya itu terlalu dibuat-buat.

Sena masih saja sibuk merapikan lembaran-lembaran kertas ulangan yang tercecer dari selipan buku-buku tebalnya ketika sepasang sepatu bertali –entah sejak kapan- berdiri di depan buku catatan bersampul kain, berwarna kuning pemberian Jinki. Ujung sepasang sepatu itu hampir saja menyentuh permukaan sampul. Sena segera menarik buku itu,

“Astaga! Kau tidak melihat apa? Kau hampir menginjaknya tahu!” sulut Sena begitu buku catatan kuning itu ada dalam genggamannya. Matanya membulat lebar ketika ia mendongakkan kepalanya. Sosok Jinki, yang ternyata adalah pemilik sepasang sepatu itu, menjulang tinggi di depan Sena.

Sena mengatupkan kedua bibirnya rapat-rapat. Perasaannya begitu campur aduk. Dan matanya tiba-tiba memanas ketika ia menyadari bahwa Jinki hanya menatapnya tanpa ekspresi.

“Ini, maafkan aku. Aku sudah berjalan tidak hati-hati.” Ucap gadis yang menabrak Sena tadi seraya menyodorkan beberapa tumpukan buku kepadanya. Sena segera menoleh dari mana suara itu berada dan menerima semua tumpukan buku itu lalu berdiri kaku sambil membenahi bagian belakang roknya.

“Kalau begitu, aku kembali ke kelas dulu. Sekali lagi, maafkan aku.” Pamit gadis itu sambil sedikit membungkukkan badannya pada Sena. Jinki yang berada tepat di sampingnya segera merangkulnya dan mengantar gadis itu sampai di depan kelasnya yang hanya berjarak beberapa meter dari tempat Sena berdiri.

Sena hanya berdiri mematung menatap punggung Jinki yang perlahan berjalan menjauhinya, tepatnya menjauhi kelas gadisnya itu. Entah perasaan yang bagaimana yang sedang Sena rasakan hingga ia tak kuasa menahan air matanya. Ia tak habis fikir, Jinki hanya menatapnya sesaat dan meninggalkannya begitu saja. Ini tidak seperti yang ia inginkan dari persahabatannya dengan Jinki. Ia tidak bermaksud membuat persahabatannya menjadi sedingin dan sekaku ini sebelumnya. Ia tidak bermaksud membuat dirinya terluka seperti ini pada akhirnya. Bahkan ketika ia memutuskan hubungan dengan laki-laki pilihannya dulu, ia tidak pernah berfikir bahwa Jinki-lah penyebabnya.

Sena menyukai Jinki. Yah, begitulah, diam-diam setelah Jinki memutuskan untuk ‘pergi mencari kebahagiaan tanpanya’. Sena merasa begitu kehilangan sosok Jinki yang dulu pernah ada untuknya, pernah menaruh perhatian-perhatian aneh terhadapnya, dan pernah juga memberikan kata-kata ‘pergi’ untuk Sena. Bodoh. Itulah yang Sena rasakan saat ini. Dulu ia begitu naif dengan cinta pertamanya dan bersikukuh menolak Jinki agar ia bisa memiliki keduanya, persahabatan dan cinta. Tapi sekarang, salah satu dari mereka sama sekali tidak ada pada genggamannya. Kini ia hanya bisa mengenggam harapan kosong untuk Jinki agar ia mau memaafkan segala kebodohannya.

Tapi jangan pernah kau dustai takdirmu

Pasti itu terbaik untukmu

Janganlah lagi kau mengingatku kembali

Aku bukanlah untukmu

Meski ku memohon dan meminta hatimu

Jangan pernah tinggalkan dirinya untuk diriku

Meski ku memohon dan meminta hatimu

Jangan pernah tinggalkan dirinya

Untuk diriku

.           Sena menatap kotak berwarna kuning yang ada di atas pangkuannya. Kedua tangannya yang ramping menyentuh setiap permukaan benda yang ada di dalam kotak itu. Benda-benda kecil yang selalu diabaikannya. Benda-benda kecil yang dulu selalu membuatnya iba ketika memandang Jinki. Dan benda-benda kecil yang sekarang malah menjadi kenangan pilu untuk Sena. Kenangan di mana dulu Jinki selalu menaruh benda-benda itu di dalam loker kelas sepuluhnya. Saat itu Jinki begitu tulus menginginkan hatinya, hingga hampir setiap saat ia menaruh benda-benda yang berdominasi warna kuning –warna kesukaan Sena- itu ke dalam lokernya. Sena menyesal dulu telah mengabaikan Jinki. Tidak mengerti niat-niat tulus Jinki, dan selalu mementingkan ke sok-tahuannya tentang ‘persahabatan sejati’. Sena begitu bodoh. Ia bahkan tidak sanggup mempertahankan laki-laki yang katanya lebih di cintainya itu saat Jinki benar-benar tidak ada untuknya.

Apakah ini terlalu terlambat baginya menyadari apa yang sedang terjadi? Haruskah ia membiarkan rasa sakit di hatinya semakin kentara ketika mengetahui respon Jinki yang hanya diam saat melihat ia memakai lagi barang-barang pemberian Jinki? Apakah terlalu terlambat baginya menyadari bahwa Jinki sudah tidak bersahabat lagi dengannya? Dada Sena terasa begitu perih, kedua tangannya mencengkram kuat-kuat buku catatan bersampul kain kuning pemberian Jinki yang dulu pernah di berikannya sebagai hadiah ulang tahun Sena yang ke enam belas. Saat itu Sena berfikir, hadiah dari Jinki bukanlah lagi hadiah untuk  sahabat, melainkan hadiah untuk perempuan yang dicintainya. Sena dulu sangat membenci itu, ia tidak ingin perasaan sayang yang selalu tulus di berikan Jinki berubah menjadi perasaan cinta yang harus dibalas. Sena terlalu nyaman dengan perilaku bersahabat yang di berikan Jinki hingga ia tidak pernah memikirkan perasaan apa yang  sewaktu-waktu bisa berkembang di hati Jinki.

Dan sekarang, apakah ia dulu begitu jahat? Menolak mentah-mentah perasaan Jinki dan menyuruhnya pergi?! Lalu dengan seenaknya ia menginginkan Jinki untuk kembali lagi kepadanya setelah Jinki menemukan kebahagiaannya?!

Sena menumpahkan begitu saja air matanya yang sedari tadi mengendap di pelupuk mata. Entah apa yang sekarang sedang Sena lakukan, yang jelas, pikirannya kini begitu kacau. Kotak kuning yang berisikan benda-benda pemberian Jinki itu kini jatuh berserakan di lantai kamarnya. Ia merasa, tidak sepantasnya menyimpan barang-barang itu lagi, sedangkan pemberinya sudah tidak peduli dengannya. Dan ia sadar, sebesar apapun ia memendam rasa penyesalan dan rasa sukanya terhadap Jinki, ia tidak mungkin bisa meminta maaf sekaligus memilikinya kembali begitu saja. Jinki kini sudah bahagia dengan perempuan lain yang ia sebut sebagai kekasihnya itu. Jadi tidak sepantasnya Sena merusak hubungan indah itu sama seperti ia dulu merusak persahabatannya sendiri. Karena ia yakin betul, dirinya bukanlah untuk Jinki. Sudah terlalu banyak luka yang ia torehkan di hati laki-laki itu, dan sudah terlalu sabar Jinki mengobatinya -dengan mencoba menemukan kebahagiannya sekaligus melupakan sosoknya-.

FIN~

Heeee..komment heeee…yang komment Chym doain ketemu biasnya.. :*

4 thoughts on “Last Feeling

  1. Duh duh duh, ini FF bikin galau. Galau banget , awalnya kasian sama Jinki terus kasian sama Sena. Tapi tapi tapi, covernya gak nyambung banget. Karyamu iki tok a?

    • Iya…Habis sih, si Sena nyebelin juga. Hemm 😀
      Hahahaha! Chym gak bisa bikin poster, maaf yah 😛
      Buat karya yang laen masih ada di kompi, kapan hari bakal di publish kok.
      Gomawo udah baca sama komment. Semoga ketemu biasnya yah :*

Leave a comment